BarataNews.id, Jakarta – Maraknya pengibaran bendera bajak laut dari serial One Piece menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia menuai sorotan publik dan tanggapan dari kalangan akademisi.
Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, menilai fenomena ini sebagai bentuk protes simbolik dari masyarakat terhadap situasi sosial-politik saat ini. Ia mengimbau agar pemerintah tidak bersikap berlebihan dalam merespons aksi tersebut.
Menurut Bagong, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam menyuarakan kritik merupakan indikasi dari kesadaran publik yang kian berkembang. Karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk lebih mengedepankan pendekatan empatik dan dialog terbuka ketimbang penindakan represif.
Protes Simbolik dan Respons Pemerintah
Bagong menyampaikan bahwa ekspresi seperti pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece dapat mencerminkan ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada. Namun ia menekankan bahwa respons pemerintah sebaiknya tidak berupa pelabelan langsung sebagai tindakan makar.
“Tentu pemerintah tidak perlu reaktif. Perlu direspon juga protes itu,” ujar Bagong. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah seharusnya menanggapi kritik yang ada dengan data yang akurat dan argumentasi yang rasional, bukan dengan perang opini atau narasi.
Meski begitu, Bagong mengingatkan bahwa perayaan kemerdekaan merupakan momen penting yang harus dihargai oleh semua pihak. Ia menilai pentingnya menjaga nilai kesakralan HUT RI agar tidak terdegradasi oleh bentuk-bentuk protes yang tidak tepat sasaran.
Bendera One Piece Dinilai Beragam
Bendera yang dimaksud merupakan simbol Jolly Roger milik karakter Monkey D. Luffy dalam serial One Piece. Belakangan ini, simbol tersebut kerap terlihat dikibarkan di berbagai kendaraan besar seperti truk menjelang perayaan kemerdekaan.
Fenomena tersebut memicu reaksi beragam. Sebagian kalangan menilai aksi ini sebagai bentuk ekspresi kreatif dari generasi muda, sementara lainnya menganggapnya sebagai tindakan yang tidak menghormati simbol negara.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, bahkan menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk makar yang harus ditindak tegas. Dalam pernyataannya di Kompleks Parlemen Senayan, ia menyatakan bahwa simbol-simbol lain selain Merah Putih tidak layak dikibarkan dalam perayaan HUT RI.
Sementara itu, suara dari kalangan akademisi seperti Bagong Suyanto mendorong adanya pendekatan yang lebih proporsional dan reflektif dalam merespons fenomena tersebut, dengan tetap menjunjung tinggi semangat kemerdekaan dan kebebasan berekspresi dalam batas-batas yang wajar.