BarataNews.id, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuka kembali peluang untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Wacana ini mencuat setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu nasional dan lokal digelar secara terpisah. Keputusan MK tersebut memicu polemik di kalangan legislatif, bahkan menimbulkan dugaan adanya upaya untuk melemahkan lembaga penjaga konstitusi tersebut.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025 menyatakan pemilu nasional—yakni pemilihan presiden, DPR, dan DPD—harus dilaksanakan lebih dahulu. Sedangkan pemilu lokal—yang mencakup pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah—diselenggarakan paling singkat dua tahun setelahnya.
Evaluasi MK Jadi Alasan Revisi UU
Putusan itu mendapat reaksi keras dari sejumlah partai politik di parlemen. Komisi III DPR segera merespons dengan memanggil para ahli untuk membahas dampak keputusan tersebut. Peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai langkah ini bukan semata-mata untuk merespons substansi putusan, melainkan menjadi celah untuk mengevaluasi eksistensi MK, termasuk hakim-hakimnya.
“Putusan ini menjadi pintu masuk bagi DPR untuk meninjau ulang MK. Bisa jadi, bukan hanya soal pemilu, tapi juga wewenang dan komposisi lembaganya,” ujar Lucius.
RUU MK Masuk Kategori Kumulatif Terbuka
Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menyatakan bahwa secara yuridis, revisi UU MK dapat dilakukan kapan saja karena sudah termasuk dalam daftar RUU kumulatif terbuka. Ia menilai kritik publik terhadap beberapa putusan MK bisa menjadi dasar untuk membahas perubahan regulasi tersebut.
“Masuknya revisi UU MK ke dalam Prolegnas Kumulatif Terbuka menunjukkan urgensi adanya penyesuaian terhadap fungsi dan kewenangan MK,” kata Khozin.