BarataNews.id, Jakarta – Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) secara terbuka menyatakan penolakan terhadap keputusan Bareskrim Polri yang menghentikan penyelidikan kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Keputusan penghentian penyelidikan itu diambil usai digelarnya gelar perkara khusus yang melibatkan berbagai pihak, termasuk TPUA, pakar telematika Roy Suryo, Kompolnas, dan perwakilan hukum Presiden.
Wakil Ketua TPUA, Riza Fadillah, menyebut penghentian laporan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menyoroti argumen penyidik yang menyatakan data yang diajukan oleh pelapor bersifat sekunder, bukan primer, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti utama.
Menurut Riza, pembagian diksi antara data primer dan sekunder tidak dikenal dalam sistem hukum pidana Indonesia, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia menegaskan bahwa KUHAP hanya mengenal klasifikasi alat bukti dan barang bukti, bukan berdasarkan jenis data.
Ia juga menjelaskan bahwa Pasal 184 KUHAP secara jelas mengatur bahwa alat bukti dalam suatu perkara pidana meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, data yang diajukan oleh TPUA dianggapnya telah memenuhi unsur sebagai alat bukti dalam proses hukum.
Kritik terhadap Proses Gelar Perkara
TPUA juga mengkritik absennya dokumen asli milik Presiden Jokowi dalam proses gelar perkara khusus yang telah dilaksanakan. Riza menyebut hal tersebut sebagai kejanggalan, mengingat ijazah yang menjadi objek perkara tidak ditunjukkan secara langsung dalam proses tersebut.
Ia menilai bahwa ketiadaan dokumen asli menjadi hambatan serius dalam upaya pencarian kebenaran, dan seharusnya menjadi pertimbangan bagi penyidik untuk tidak serta-merta menghentikan proses penyelidikan.
Siap Ajukan Bukti Tambahan
Riza menegaskan bahwa pihaknya belum berhenti memperjuangkan perkara ini. TPUA berencana untuk kembali mengajukan bukti tambahan kepada Bareskrim Polri. Ia menyatakan bahwa masih terbuka peluang untuk pembuktian lanjutan yang dapat memperkuat laporan tersebut.
“Seharusnya penyidik tidak menghentikan penyelidikan karena bukti tambahan masih akan diserahkan,” ujarnya.
Sebelumnya, gelar perkara khusus dilakukan pada 9 Juli 2025 oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri. Hasil dari proses tersebut berujung pada dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) bernomor 14657/VII/RES.7.5/2025/BARESKRIM, yang secara resmi menghentikan laporan.
Komisioner Kompolnas, Choirul Anam, membenarkan bahwa proses gelar perkara telah berjalan sesuai prosedur dan substansinya dinilai kredibel. Ia menegaskan bahwa seluruh pihak yang terlibat telah hadir dan diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya.
Kendati demikian, kontroversi terkait penghentian kasus ini masih terus bergulir di ruang publik, khususnya di kalangan yang mendesak transparansi lebih lanjut atas dokumen akademik Presiden Joko Widodo.