Berita, HukumBerita

PPATK Dikritik atas Pemblokiran Rekening Dormant: Kebijakan Dianggap Otoriter dan Cacat Hukum

×

PPATK Dikritik atas Pemblokiran Rekening Dormant: Kebijakan Dianggap Otoriter dan Cacat Hukum

Sebarkan artikel ini
Kepala Ppatk Ivan Yustiavandana Dalam Konferensi Pers Tentang Pemblokiran Rekening
Pemblokiran rekening dormant oleh PPATK dikritik tajam karena dinilai otoriter, melanggar hukum, dan mendiskriminasi masyarakat kecil.

BarataNews.id, Jakarta – Pelonggaran kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Langkah tersebut dinilai sebagai bentuk pengakuan diam-diam atas kesalahan logika dan pendekatan yang keliru dalam pengawasan keuangan selama ini.

PPATK sebelumnya membekukan jutaan rekening masyarakat sipil yang dinilai pasif atau tidak aktif bertransaksi, dengan dalih mencegah kejahatan seperti judi online. Namun, kebijakan ini dinilai mengabaikan kompleksitas perilaku finansial masyarakat yang seringkali menyimpan dana untuk keperluan jangka panjang seperti biaya kesehatan, pendidikan, atau dana darurat.

Kebijakan yang Dianggap Tidak Manusiawi

Kebijakan pemblokiran ini dianggap menyamaratakan seluruh rekening pasif sebagai potensi kejahatan. Masyarakat yang tidak rutin bertransaksi pun terjaring, termasuk pelajar, ibu rumah tangga, pensiunan, hingga petani. PPATK berdalih bahwa tindakan ini untuk merespons lonjakan transaksi judi online. Namun hingga kini, belum ada data resmi yang dirilis untuk mendukung klaim tersebut.

Hingga Mei 2025, sebanyak 31 juta rekening telah diblokir dengan nilai dana mencapai Rp 6 triliun. Termasuk di dalamnya, 10 juta rekening penerima bantuan sosial yang tak terpakai dengan total dana Rp 2,1 triliun, serta lebih dari 2.000 rekening instansi pemerintah senilai hampir Rp 500 miliar.

Namun, banyak pihak menilai pendekatan yang digunakan PPATK keliru karena mengandalkan algoritma dan kecurigaan semata tanpa pembuktian. Dalam banyak kasus, rekening-rekening tersebut hanya “terlalu diam”, tanpa adanya pelanggaran nyata.

Kritik atas Ketimpangan Perlakuan

Lebih lanjut, PPATK juga dinilai tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketika menyangkut masyarakat biasa, tindakan cepat dilakukan. Namun, ketika PPATK melaporkan transaksi mencurigakan sebesar Rp 80,1 triliun pada tahun 2024 yang melibatkan partai politik, caleg, dan pejabat, tidak ada langkah pemblokiran atau tindakan hukum yang tegas.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang standar ganda dalam kebijakan keuangan negara. Pemblokiran terhadap rakyat kecil dilakukan tanpa klarifikasi atau pembuktian, sementara pelanggaran bernilai besar oleh elite dibiarkan tanpa tindakan.

Pelanggaran terhadap Batas Kewenangan

Secara hukum, kewenangan PPATK tidak mencakup eksekusi pemblokiran rekening secara langsung. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, lembaga ini hanya bisa merekomendasikan pemblokiran sementara melalui lembaga keuangan jika ada indikasi pencucian uang atau pendanaan terorisme. Proses selanjutnya seharusnya melibatkan aparat penegak hukum dan sistem peradilan.

Kritik internasional pun muncul. Dalam studi Alhosani (2016), disebutkan bahwa Financial Intelligence Unit seperti PPATK hanya bertugas mengolah dan menganalisis data, bukan mengambil tindakan eksekusi. Memberikan wewenang langsung tanpa proses yuridis disebut sebagai penyimpangan struktural atau “function creep”.

Apa yang dilakukan PPATK dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang administratif yang mengarah pada otoritarianisme finansial. Negara disebut gagal memegang asas praduga tak bersalah, dengan menggantinya menjadi praduga mencurigai tanpa bukti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *