BarataNews.id, Jakarta – Konsumsi air minum isi ulang masih menjadi pilihan utama masyarakat karena harganya yang terjangkau. Namun, hasil pengujian laboratorium terbaru mengungkapkan bahwa mayoritas air isi ulang tidak memenuhi standar keamanan.
Laporan dari Yayasan Jiva Svastha Nusantara di Bandung menunjukkan bahwa lebih dari 84 persen sampel air dari rumah tangga maupun depot minum isi ulang (Damiu) terkontaminasi bakteri berbahaya seperti Escherichia coli dan/atau coliform. Kondisi ini memicu kekhawatiran serius terhadap mutu air minum yang beredar di masyarakat.
Mayoritas Depot Tidak Penuhi Standar
Hasil pengujian tersebut memperlihatkan adanya persoalan sistemik terkait kebersihan depot dan proses pengujian kualitas air yang minim. Banyak Damiu beroperasi tanpa memperhatikan standar kebersihan, tanpa pengujian laboratorium rutin, dan tanpa Sertifikat Laik Hygiene dan Sanitasi (SLHS).
Sebagai respons, Yayasan Jiva Svastha Nusantara mengadakan penyuluhan di Kelurahan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Kegiatan ini menyasar ibu rumah tangga dan anggota PKK untuk memberikan edukasi soal air minum layak konsumsi dan cara menyimpannya dengan higienis.
Wuhgini, Sanitarian Ahli Muda dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, yang menjadi narasumber kegiatan ini, menegaskan bahwa kejernihan air secara fisik tidak menjamin keamanannya. “Air minum harus memenuhi tiga parameter: fisik, kimia, dan mikrobiologi,” jelasnya.
Dia menambahkan, menyimpan galon terlalu lama baik di depot maupun rumah juga berisiko meningkatkan kontaminasi mikroba.
Risiko Kesehatan Serius
Air yang tercemar bakteri berbahaya dapat menyebabkan diare, kolera, hepatitis, dan bahkan stunting pada anak bila dikonsumsi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, masyarakat diimbau lebih selektif dalam memilih air isi ulang.
Surya Putra, Kepala Bidang Hukum dan Advokasi Kebijakan di Yayasan Jiva Svastha Nusantara, menekankan pentingnya edukasi hingga tingkat rumah tangga. Ia menyebut tindakan sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun, rutin membersihkan dispenser, dan bertanya tentang sumber air merupakan langkah perlindungan yang efektif.
Dialog yang terjadi antara warga dan penyelenggara penyuluhan menunjukkan keresahan terhadap sejumlah depot yang dinilai kurang higienis namun tetap beroperasi. Hal ini mengindikasikan lemahnya sistem pengawasan serta terbatasnya informasi kepada konsumen.
Warga kini didorong untuk aktif mengawasi praktik depot air di lingkungan sekitar dan memperjuangkan hak atas air minum yang sehat dan aman.