BarataNews.id, Jakarta – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah menciptakan gelombang besar dalam sistem demokrasi Indonesia. Meski putusan ini bersifat final dan mengikat, hingga akhir Juni 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum juga membahas revisi Undang-Undang Pemilu yang merupakan implikasi langsung dari putusan tersebut.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, mengakui bahwa pihaknya belum menjadwalkan pembahasan lanjutan. Alasannya, DPR masih fokus pada agenda pembangunan dan belum ada arahan dari pimpinan untuk menindaklanjuti putusan MK. Ia juga menyebut revisi UU Pemilu baru akan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2026.
Putusan MK dalam perkara nomor 135/PUU-XXII/2024 mencabut frasa “pemungutan suara secara serentak” dalam UU Pemilu. Hal ini secara otomatis membatalkan konsep pemilu lima kotak dan memisahkan waktu pelaksanaan antara pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Imbasnya, tak hanya UU Pemilu yang harus diubah, melainkan juga UU Pilkada, UU Partai Politik, hingga UU Pemerintahan Daerah.
Hakim MK Saldi Isra menyatakan bahwa tahapan pemilu yang terlalu berdekatan menurunkan kualitas demokrasi. Waktu yang singkat membuat rakyat sulit mengevaluasi kinerja pejabat, dan partai kesulitan merekrut kader ideal. Sementara itu, Arief Hidayat menilai sistem lima kotak mendorong praktik transaksional akibat padatnya jadwal politik yang saling tumpang tindih.