BarataNews.id, Jakarta – Fenomena “Rojali” alias rombongan jarang beli tengah menjadi sorotan di berbagai pusat perbelanjaan di Tanah Air. Istilah ini menggambarkan kecenderungan masyarakat yang ramai mengunjungi mal, namun hanya sekadar berjalan-jalan tanpa melakukan transaksi belanja signifikan, selain makan atau minum. Meski terkesan sepele, Badan Pusat Statistik (BPS) menilai fenomena ini bisa menjadi indikator tekanan ekonomi, terutama di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menjelaskan bahwa berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) per Maret 2025, terlihat adanya kecenderungan kelompok ekonomi atas untuk menahan konsumsi. Namun demikian, Ateng menegaskan bahwa fenomena Rojali belum tentu berhubungan langsung dengan tingkat kemiskinan secara statistik.
“Fenomena Rojali belum tentu mencerminkan kemiskinan. Tapi bisa jadi merupakan ekspresi sosial karena tekanan ekonomi, khususnya di kalangan masyarakat rentan,” ujar Ateng dalam rilis resmi BPS pada Jumat, 25 Juli 2025.
Rojali, Antara Cuci Mata dan Strategi Bertahan
Maraknya Rojali di pusat perbelanjaan menurut Ateng dapat menjadi cerminan masyarakat yang sedang mencari hiburan murah meriah di tengah ketidakpastian ekonomi. Mereka datang untuk sekadar menyegarkan pikiran, tetapi menahan diri dari belanja barang kebutuhan sekunder maupun tersier.
Dari sisi statistik, BPS belum melakukan survei langsung terhadap perilaku Rojali sebagai sebuah kategori khusus. Penilaian hanya berdasarkan pola konsumsi rumah tangga yang terekam dalam Susenas. Namun, gejala ini dipandang cukup penting untuk dijadikan referensi kebijakan sosial ekonomi.
“Amati siapa yang melakukan Rojali, apakah kelas menengah, kelompok rentan, atau bahkan kelompok miskin. Ini bisa jadi sinyal bahwa ketahanan konsumsi rumah tangga perlu lebih diperhatikan, bukan hanya mengejar penurunan angka kemiskinan semata,” tambah Ateng.
Ketimpangan Konsumsi dan Tantangan Ekonomi Kelas Rentan
Di tengah laporan penurunan jumlah warga miskin ekstrem menjadi 2,38 juta jiwa, BPS tetap mengingatkan pentingnya menjaga daya beli masyarakat kelas bawah. Rojali dinilai sebagai fenomena yang menyoroti adanya celah dalam distribusi kesejahteraan dan pemulihan ekonomi pascapandemi.
Konsumen kelas menengah ke bawah yang sebelumnya menjadi penggerak utama roda ekonomi domestik kini terlihat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang. Penurunan konsumsi domestik pun dikhawatirkan akan mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi yang mulai pulih secara bertahap.
Para pengusaha ritel juga mulai mengeluhkan dampak dari fenomena ini, mengingat kunjungan ke mal tidak otomatis berbanding lurus dengan peningkatan transaksi. Jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat sasaran, kondisi ini dapat memengaruhi performa sektor perdagangan dan jasa dalam jangka panjang.