BarataNews.id, Bandung – Polda Jawa Barat berhasil mengungkap sindikat perdagangan bayi lintas negara yang telah beroperasi sejak 2023. Dalam kasus ini, setidaknya 25 bayi dilaporkan telah dijual ke Singapura, dan sebagian besar di antaranya telah berganti kewarganegaraan.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, mengatakan bahwa informasi yang diperoleh dari hasil penyidikan menyebutkan banyak dari bayi yang dijual telah memiliki kewarganegaraan baru. Hal ini mengindikasikan adanya proses adopsi ilegal yang melibatkan pemalsuan dokumen kewarganegaraan.
Polda Jabar telah menetapkan 13 tersangka dalam kasus ini. “Para tersangka yang diamankan berjumlah 13 orang, terdiri dari 12 perempuan dan 1 laki-laki,” ungkap Kabid Humas Polda Jabar Kombes Hendra Rochmawan dalam konferensi pers, Kamis (17/7/2025). Selain itu, ada tiga orang lainnya yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), diduga termasuk otak utama sindikat.
Kasus ini bermula dari laporan salah satu ibu bayi yang merasa ditipu oleh pelaku berinisial AF. Dalam kesaksian korban, AF menjanjikan uang sebesar Rp10 juta sebagai imbalan adopsi bayi melalui kesepakatan yang dibuat lewat media sosial Facebook. Namun, setelah bayi diserahkan, uang yang dijanjikan tidak dibayar sepenuhnya.
“Ketika bayi lahir, pelaku hanya memberikan Rp600 ribu untuk ongkos persalinan. Sisanya dijanjikan akan diberikan kemudian bersama dokumen, namun tidak pernah ditepati,” jelas Hendra.
Jalur Pemindahan dan Dokumen Palsu
Bayi-bayi yang telah diserahkan kemudian dibawa ke Pontianak, Kalimantan Barat. Di sana, mereka diasuh sementara sambil menunggu pembuatan dokumen palsu, termasuk Kartu Keluarga dan identitas lainnya, sebelum akhirnya dikirim ke Singapura.
Setelah proses pemalsuan selesai, para bayi diadopsi secara ilegal di luar negeri. Pihak kepolisian menduga kuat adanya keterlibatan jaringan lintas negara yang memfasilitasi proses adopsi dan perubahan kewarganegaraan ini.
Ancaman Hukuman Berat
Para pelaku dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jika terbukti bersalah, para tersangka terancam hukuman penjara hingga 15 tahun.
Polisi masih melakukan pengejaran terhadap tiga buronan yang diyakini memiliki peran sentral, termasuk diduga sebagai koordinator utama sindikat.
Kasus ini kembali menjadi sorotan serius atas lemahnya pengawasan terhadap praktik adopsi dan penyalahgunaan media sosial untuk perdagangan manusia. Pihak terkait, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyatakan akan bekerja sama dengan Interpol dalam upaya menelusuri keberadaan bayi-bayi tersebut serta pihak asing yang mengadopsi mereka secara ilegal.