BarataNews.id, Jakarta – Pemerintah kini memiliki dasar hukum untuk mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan bahwa aturan tersebut berlaku bagi berbagai jenis hak atas tanah, termasuk hak milik.
Aturan ini menyasar tanah yang sengaja tidak dimanfaatkan, tidak dipelihara, atau ditinggalkan tanpa aktivitas. Pengambilalihan dapat dilakukan terhadap tanah hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak pengelolaan, hingga tanah yang diperoleh dari penguasaan fisik tanpa bukti hak.
Kategori Tanah yang Bisa Diambil Negara
Menurut Pasal 7 ayat (2) PP 20/2021, tanah hak milik juga dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar jika:
-
Dikuasai masyarakat dan berubah menjadi perkampungan
-
Dikuasai pihak lain lebih dari 20 tahun tanpa hubungan hukum dengan pemilik
-
Fungsi sosial hak atas tanah tidak dijalankan, baik oleh pemilik yang masih hidup maupun yang sudah tiada
Selain itu, Pasal 6 dari PP ini mengatur enam kategori tanah yang bisa menjadi objek penertiban, yakni kawasan pertambangan, perkebunan, industri, pariwisata, perumahan skala besar, dan kawasan dengan izin pemanfaatan ruang lainnya. Namun, tanah adat dan tanah milik bank tanah dikecualikan.
Proses Pengambilalihan Berlangsung Hampir Dua Tahun
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menjelaskan bahwa proses pengambilalihan tanah dilakukan secara bertahap selama sekitar 587 hari atau hampir dua tahun. Langkah awalnya adalah pengiriman surat peringatan oleh BPN. Bila tidak ada respons, maka proses dilanjutkan dengan peringatan pertama, kedua, hingga kesempatan perundingan.
“Kalau masih tidak ada aktivitas juga, maka negara dapat menetapkan tanah tersebut sebagai tanah terlantar dan mengambil alih,” ujarnya saat Rakernas PBIKA-PMII di Jakarta, Minggu (13/7).
Klarifikasi Soal Status Girik
Menanggapi kabar bahwa tanah berstatus girik bisa langsung diambil negara pada 2026, Kementerian ATR/BPN memberikan klarifikasi. Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Asnaedi menyatakan bahwa girik bukan alat bukti kepemilikan resmi, namun tetap bisa menjadi petunjuk atas penguasaan tanah berdasarkan adat atau hak lama.
“Asalkan pemilik girik masih menguasai tanah dan bisa membuktikan, tanah itu tidak akan serta-merta diambil oleh negara,” tegas Asnaedi dalam pernyataan resminya.
Aturan ini menjadi bagian dari langkah pemerintah dalam optimalisasi pemanfaatan tanah sekaligus mendorong pemilik tanah agar menjalankan fungsi sosial sesuai amanat Undang-Undang Pokok Agraria.