BarataNews.id, Jakarta – Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping dipastikan tidak menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, mulai Minggu (6/7). Ketiadaan dua tokoh penting pendiri BRICS ini menimbulkan spekulasi luas mengenai dinamika internal dan arah ideologis kelompok tersebut.
Dari pihak Tiongkok, tidak ada alasan resmi yang diberikan atas absennya Presiden Xi Jinping. Namun, Pemerintah China mengutus Perdana Menteri Li Qiang untuk memimpin delegasi dalam forum penting tersebut. Sementara dari pihak Rusia, ketidakhadiran Presiden Putin dikaitkan dengan status hukumnya di mata hukum internasional.
Putin saat ini tengah menghadapi surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas dugaan keterlibatannya dalam penculikan dan deportasi anak-anak dari Ukraina. Meskipun Brasil tidak menyatakan akan menahan Putin, status sebagai negara penandatangan Statuta Roma membuat kehadiran Putin berpotensi menimbulkan ketegangan diplomatik.
Ini bukan kali pertama Putin absen dalam pertemuan BRICS. Ia juga tidak hadir pada KTT 2023 di Afrika Selatan karena situasi hukum yang serupa. Saat itu, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengaku tidak dapat menjamin keamanan hukum bagi Putin.
BRICS yang Semakin Heterogen
Seiring perluasan keanggotaan BRICS dalam dua tahun terakhir, sejumlah pengamat menilai koherensi ideologis organisasi ini mulai mengalami pergeseran. Jika sebelumnya BRICS digagas sebagai tandingan terhadap dominasi negara-negara G7, kini dengan bergabungnya sejumlah negara dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia, karakter organisasi ini menjadi lebih beragam secara politik dan ekonomi.
Selain lima negara pendiri—Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—anggota baru BRICS kini mencakup Indonesia, Iran, Mesir, Ethiopia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Sebagian besar dari negara-negara tersebut memiliki sistem pemerintahan yang bersifat otoriter, yang dinilai memperbesar dominasi unsur non-demokratis dalam aliansi ini.
Pergeseran ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi negara-negara BRICS yang lebih moderat seperti Brasil, India, dan Afrika Selatan. Sebab, kecenderungan blok menuju arah otokratis dikhawatirkan akan memicu ketegangan internal di tengah upaya membangun tatanan dunia multipolar yang adil dan seimbang.