BarataNews.id, Jakarta – Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengguncang publik dengan memamerkan tumpukan uang sitaan senilai Rp 2 triliun dari total Rp 11,8 triliun milik Wilmar Group. Uang itu disita sebagai bagian dari penanganan perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) yang menyeret tiga konglomerasi besar: Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Penyitaan dilakukan Kejaksaan Agung usai majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelumnya memutus bahwa para terdakwa memang terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan jaksa. Namun, para terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan karena perbuatan tersebut dinyatakan bukan merupakan tindak pidana atau ontslag van alle rechtsvervolging. Atas putusan tersebut, kejaksaan mengajukan kasasi dan melanjutkan penyitaan aset.
Pakar hukum pidana Julius Ibrani mempertanyakan dasar hukum penyitaan yang dilakukan setelah pembacaan vonis tingkat pertama. Menurutnya, dalam KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan hingga persidangan. Penyitaan setelah vonis, menurut Julius, tak diatur secara eksplisit. Meski demikian, ia mengakui langkah kejaksaan sebagai upaya luar biasa untuk mengamankan potensi kerugian negara, terutama mengingat ada dugaan kuat suap dalam putusan tersebut.
Sementara itu, Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyebut penyitaan ini menyimpang dari definisi KUHAP yang menyatakan penyitaan harus berkaitan dengan penyidikan dan pembuktian di pengadilan. Namun, ia tak menutup kemungkinan adanya celah hukum karena kasus ini disebut tercemar oleh korupsi, termasuk dugaan suap kepada majelis hakim.