Berita

Ekonom Kritik Standar Kemiskinan BPS yang Dinilai Terlalu Rendah

×

Ekonom Kritik Standar Kemiskinan BPS yang Dinilai Terlalu Rendah

Sebarkan artikel ini
Ekonom Indef Dan Celios Kritik Standar Kemiskinan Bps Sebesar Rp20 Ribu Per Hari

BarataNews.id, Jakarta – Sejumlah ekonom menyoroti metode pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terutama standar garis kemiskinan sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.305 per hari. Mereka menilai angka tersebut sudah tidak relevan dengan realitas kebutuhan hidup saat ini.

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menyatakan bahwa batas garis kemiskinan yang terlalu rendah dapat menimbulkan kesan semu terhadap penurunan angka kemiskinan. Menurutnya, standar tersebut tidak mencerminkan kebutuhan riil masyarakat miskin di tengah kenaikan harga barang dan jasa.

Sorotan terhadap Metodologi BPS

Tauhid menyatakan bahwa metode pengukuran kemiskinan BPS masih merujuk pada pendekatan lama yang mengutamakan kebutuhan pangan, sementara kebutuhan non-pangan seperti transportasi dan komunikasi belum sepenuhnya diperhitungkan. Padahal, kata dia, kebutuhan masyarakat telah mengalami perubahan signifikan dalam dua dekade terakhir.

Ia mencontohkan bahwa saat ini banyak warga yang tergolong miskin justru memiliki kendaraan bermotor, terutama sepeda motor, yang menjadi kebutuhan transportasi utama. Dalam pendekatan lama BPS, kepemilikan motor bisa mengindikasikan ketidakmiskinan, padahal kenyataannya belum tentu demikian.

Lebih lanjut, kebutuhan seperti pulsa, kuota internet, dan alat komunikasi sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Oleh karena itu, Tauhid menyarankan agar Indonesia mulai mengadopsi metode penghitungan kemiskinan dari lembaga internasional seperti Bank Dunia yang lebih komprehensif.

Perbedaan Angka dengan Lembaga Internasional

Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, juga mengkritik data kemiskinan BPS Maret 2025 yang mencatat penduduk miskin ekstrem sebanyak 2,38 juta jiwa. Ia menilai data tersebut tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan cenderung mengabaikan indikator penting lainnya.

Menurut Media, pemerintah tampak hanya menonjolkan data yang bersifat positif tanpa memperhatikan metodologi yang digunakan. Ia menekankan bahwa pendekatan pengeluaran rumah tangga yang digunakan BPS telah digunakan selama hampir lima dekade dan tidak mengalami pembaruan yang substansial.

Sebagai pembanding, laporan World Bank menunjukkan bahwa sekitar 68,2 persen penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Jumlah ini setara dengan sekitar 194,4 juta jiwa, berbeda jauh dengan angka resmi BPS yang hanya mencatat 8,57 persen atau 24,06 juta orang sebagai penduduk miskin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *