BarataNews.id, Jakarta – Kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan oleh pemerintahan Donald Trump memicu sorotan tajam dari berbagai kalangan, khususnya terkait klausul transfer data pribadi warga Indonesia ke AS. Meski kesepakatan ini menurunkan tarif impor produk RI ke AS menjadi 19%, keberadaan poin transfer data pribadi memunculkan kekhawatiran akan ancaman terhadap kedaulatan digital nasional.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Ibra Kholilul Rohman, menilai kebijakan ini menyentuh aspek fundamental seperti hak atas privasi, arsitektur tata kelola data, dan kedaulatan digital. Ia menegaskan bahwa pengalihan data lintas negara tidak bisa dilakukan sembarangan hanya demi imbalan dagang.
“Dengan latar belakang regulasi nasional yang kuat, seharusnya pengalihan data ini tidak dilakukan serampangan tanpa mekanisme pengakuan kecukupan perlindungan data (adequacy mechanism) seperti yang diterapkan Uni Eropa melalui GDPR,” kata Ibra dalam pernyataannya, Sabtu (26/7/2025).
Risiko Serius Transfer Data Lintas Negara
Ibra menyebutkan bahwa regulasi seperti UU Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022), PP No. 71/2019 tentang penyelenggaraan sistem elektronik, serta ketentuan OJK tentang pusat data lokal, menjadi bukti bahwa Indonesia mendorong kebijakan kedaulatan data. Dengan demikian, persetujuan terhadap aliran data ke luar negeri harus mempertimbangkan kesetaraan standar perlindungan data di negara tujuan.
Jika tidak ditangani dengan cermat, lanjut Ibra, kebijakan transfer data bisa menimbulkan sejumlah risiko besar, antara lain:
-
Melemahkan posisi hukum warga dalam menggugat pelanggaran data pribadi;
-
Mengurangi kendali hukum Indonesia atas data warganya;
-
Membuka peluang eksploitasi data oleh pihak asing tanpa imbal hasil ekonomi yang sepadan.
Diperlukan Audit dan Mekanisme Perlindungan Warga
Mengingat berbagai kasus kebocoran data yang pernah terjadi di dalam negeri, seperti pada BPJS Kesehatan, Tokopedia, dan KPU, Ibra menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas perlindungan data dalam negeri terlebih dahulu. Ia juga mendorong adanya sistem audit data, mekanisme pengaduan (redress mechanism), serta transparansi publik atas jenis dan tujuan data yang dialirkan ke luar negeri.
“Perjanjian digital lintas negara harus dilandasi prinsip kehati-hatian dan penguatan tata kelola data nasional,” ujar Ibra.
Ia menyarankan agar klausul transfer data dalam kesepakatan dengan AS ditunda implementasinya sampai tercapai pengakuan perlindungan data secara mutual (mutual adequacy recognition) antara otoritas kedua negara. Selain itu, kesiapan infrastruktur data center nasional dan keamanan siber juga harus ditingkatkan agar setara dengan negara-negara lain seperti Singapura, India, dan Australia.