BarataNews.id, Jakarta – Perbedaan angka kemiskinan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia kembali memicu diskusi publik. Keduanya menggunakan metodologi dan standar pengukuran yang berbeda, sehingga menghasilkan angka yang cukup jauh.
Bank Dunia baru-baru ini memperbarui standar garis kemiskinan ekstrem menjadi US$3 per kapita per hari berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP). Berdasarkan standar baru tersebut, sekitar 5,44 persen penduduk Indonesia pada 2023 tergolong miskin ekstrem. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan data resmi BPS yang mencatat kemiskinan ekstrem pada Maret 2025 sebesar 0,85 persen.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa Indonesia belum secara resmi mengadopsi standar baru dari Bank Dunia. BPS masih menggunakan pendekatan garis kemiskinan US$2,15 PPP (2017) demi konsistensi data. Selain itu, BPS juga memakai pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) yang disesuaikan dengan kondisi lokal Indonesia.
Perbedaan Tujuan dan Pendekatan Metodologis
Bank Dunia menggunakan pendekatan global untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara. Oleh karena itu, mereka menyesuaikan angka dengan standar PPP global yang berlaku terbaru. Dalam factsheet mereka, Bank Dunia menyebut garis kemiskinan nasional tetap relevan untuk kebijakan domestik seperti penyaluran bantuan sosial.
Sementara itu, BPS menilai pendekatan nasional lebih mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. BPS menetapkan garis kemiskinan nasional pada September 2024 sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, atau Rp2,8 juta per rumah tangga miskin rata-rata. Data ini menunjukkan bahwa sekitar 8,57 persen atau 24,06 juta warga hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
Hasil Ukuran Tidak Sama, Tapi Tidak Bertentangan
Bank Dunia menegaskan bahwa perbedaan angka bukan berarti Indonesia bertambah miskin. Peningkatan angka dalam laporan mereka disebabkan oleh naiknya standar global minimum untuk kesejahteraan. Hal ini justru mencerminkan ambisi negara-negara berkembang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Lebih jauh, perubahan metode penghitungan kemiskinan ekstrem dari CPI ke spasial deflator juga ikut memengaruhi hasil pengukuran. Ini bertujuan agar perbandingan antardaerah dan antarnegara menjadi lebih akurat.
Menuju Harmonisasi Ukuran dan Kebijakan
Meski metode keduanya berbeda, baik BPS maupun Bank Dunia memiliki tujuan masing-masing yang saling melengkapi. BPS berfokus pada kebijakan domestik dan penyesuaian berdasarkan kondisi ekonomi lokal, sementara Bank Dunia menyediakan indikator pembanding lintas negara.
Pemerintah sendiri hingga saat ini belum menyatakan akan mengubah standar garis kemiskinan ekstrem nasional. Namun, BPS menyatakan akan terus mengikuti perkembangan metode global untuk penyempurnaan ke depan.