BarataNews.id, Gaza – Bencana kelaparan di Jalur Gaza semakin mengkhawatirkan seiring berlarutnya konflik antara Israel dan Hamas. Ratusan warga sipil, termasuk anak-anak, staf kemanusiaan, dan jurnalis, mulai meninggal dunia akibat kurangnya pasokan makanan dan air bersih di tengah blokade yang belum sepenuhnya terbuka.
Sejak Israel memperketat kontrol atas bantuan kemanusiaan, distribusi logistik ke Gaza masih sangat terbatas meski ada pelonggaran sebagian sejak Mei 2025. Bantuan yang dikelola oleh PBB dan lembaga Gaza Humanitarian Foundation (GHF) masih belum mencukupi kebutuhan dasar lebih dari dua juta warga Gaza yang terdampak perang.
Pemandangan antrean panjang di dapur umum di Gaza menjadi gambaran nyata betapa daruratnya situasi. Warga hanya bisa berharap mendapatkan semangkuk sup encer, bahkan beberapa hanya menemukan potongan kecil terong. “Ini kelaparan—tidak ada roti atau tepung. Saya lakukan ini demi anak-anak saya,” kata Nadia Mdoukh, warga Gaza yang sedang hamil.
Anak-anak dan Jurnalis Mulai Tewas karena Lapar
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sedikitnya 101 orang, termasuk 80 anak-anak, telah meninggal dunia dalam beberapa hari terakhir akibat kelaparan. Laporan ini diperkuat oleh data Kantor HAM PBB (OHCHR) yang menyebut lebih dari 1.000 warga Palestina tewas saat mencoba mengakses bantuan makanan sejak akhir Mei. Kebanyakan korban ditembak ketika mendekati pos distribusi GHF atau konvoi bantuan PBB.
Sementara itu, Program Pangan Dunia (WFP) menyebut lebih dari sepertiga warga Gaza tidak makan selama beberapa hari. Hampir 100.000 perempuan dan anak-anak tercatat mengalami malnutrisi akut. Kondisi serupa dilaporkan oleh lembaga MedGlobal, yang mencatat lima bayi berusia tiga bulan tewas dalam tiga hari terakhir akibat kekurangan gizi.
Jan Egeland dari Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) mengungkapkan bahwa stok bantuan mereka telah habis. “Kami tidak punya lagi makanan, air, atau tenda untuk didistribusikan. Tidak ada yang tersisa,” ujar Egeland. NRC juga menyatakan banyak stafnya pingsan karena kelaparan dan kelelahan saat bekerja.
Krisis Menyentuh Semua Kalangan, Termasuk Tenaga Medis
Situasi tidak kalah tragis terjadi pada tenaga medis dan jurnalis. Staf dari Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dilaporkan jatuh sakit karena kekurangan makanan dan air. Philippe Lazzarini dari UNRWA menyebut, “Para perawat juga butuh perawatan. Tak ada yang luput.”
Jurnalis lokal yang bekerja untuk media internasional seperti AFP, Reuters, dan AP juga turut terdampak. Ahlam Afana, jurnalis AFP, mengungkapkan bahwa dirinya kesulitan bertahan hidup karena harga makanan melonjak hingga tak terjangkau. “Satu kilogram tepung bisa seharga 30–45 dolar AS. Kami tidak mampu membelinya,” kata Afana.
Bashar Taleb, fotografer AFP lainnya, menceritakan bahwa ia harus menghentikan pekerjaannya demi mencari makanan untuk keluarganya. “Saya sudah mengetuk banyak pintu. Sekarang saya bukan hanya meliput berita, saya juga menjadi bagian dari tragedi ini,” ungkapnya. Salah satu saudara Taleb bahkan dilaporkan meninggal karena kelaparan.
Penundaan Distribusi dan Krisis Air Perparah Kondisi
Selain makanan, pasokan air bersih juga krisis. NRC mengaku tidak lagi memiliki bahan bakar untuk mengoperasikan pabrik desalinasi, yang sebelumnya melayani sekitar 100.000 warga Gaza bagian utara dan tengah. Ratusan truk bantuan masih tertahan di perbatasan karena izin masuk yang belum diberikan.
Pernyataan keras datang dari 28 negara, termasuk Inggris dan Prancis, yang mendesak Israel segera menghentikan tindakan yang memperparah kondisi kemanusiaan di Gaza. Mereka menyebut blokade dan tembakan terhadap warga sipil sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa dibenarkan.