BarataNews.id, Jakarta – Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut vonis 4,5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong adalah keliru. Ia menilai, tidak terdapat unsur mens rea atau niat jahat dalam perkara yang menjerat Tom, sehingga vonis pidana tidak semestinya dijatuhkan.
“Setelah saya mengikuti isi persidangan dan mendengar vonisnya, maka menurut saya vonis itu salah,” kata Mahfud kepada Kompas.com, Selasa (22/7/2025).
Mahfud mengakui, pada awalnya penetapan Tom sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula dinilai sesuai hukum. Ia menjelaskan bahwa pelaku korupsi tidak harus menerima uang secara langsung, tetapi juga bisa dikenakan jika memperkaya orang lain atau korporasi secara melawan hukum dan merugikan negara.
Namun, setelah mengikuti jalannya persidangan, Mahfud melihat bahwa hakim tidak menemukan niat jahat dalam tindakan Tom. “Untuk menghukum seseorang, selain actus reus (perbuatan pidana), masih harus ada mens rea atau niat jahat. Dalam konteks vonis Tom Lembong ini, ternyata tidak ditemukan mens rea,” jelas Mahfud.
Hanya Jalankan Perintah dan Tugas Administratif
Mahfud menambahkan bahwa kebijakan impor gula yang dijalankan oleh Tom dilakukan atas dasar perintah dari atasan. Karena itu, menurutnya, tanggung jawab Tom bersifat administratif, bukan pidana.
“Dalilnya geen straf zonder schuld – tidak ada pemidanaan jika tidak ada kesalahan. Unsur utama kesalahan itu adalah mens rea. Di kasus ini tidak ditemukan karena dia hanya melaksanakan tugas,” ujar Mahfud.
Ia juga menyoroti bahwa vonis tersebut tidak menyajikan rangkaian logis mengenai perbuatan pidana (actus reus) dan menggunakan hitungan kerugian negara yang dibuat sendiri oleh hakim, bukan dari hasil audit resmi BPKP.
Vonis Hakim Dinilai Sarat Masalah
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sebelumnya menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsidair 6 bulan kurungan kepada Tom Lembong. Hakim menyatakan, kebijakan impor gula kristal mentah yang diambil Tom menyebabkan kerugian negara sebesar Rp194,7 miliar.
Menurut majelis, kebijakan tersebut membuat PT PPI membeli gula dari produsen swasta seharga Rp9.000/kg, sementara HPP saat itu hanya Rp8.900/kg. Hakim menyebut kerugian itu semestinya menjadi keuntungan PT PPI yang hilang.
Vonis tersebut juga mencantumkan bahwa Tom Lembong dinilai lebih mementingkan sistem ekonomi kapitalistik ketimbang sistem ekonomi Pancasila. “Terdakwa mengabaikan masyarakat sebagai konsumen akhir gula kristal putih untuk mendapatkan harga terjangkau,” ucap hakim dalam pertimbangannya.
Mahfud menilai penyebutan orientasi ekonomi dalam pertimbangan hukum sangat janggal. “Hakim juga bercanda lucu bahwa yang memberatkan Tom adalah membuat kebijakan kapitalistik. Tampaknya hakim tak paham bedanya ide dan norma,” kritik Mahfud.