Scroll untuk baca artikel
BeritaCek Fakta

Terungkap! Ini Peran 11 Tersangka Skandal Kredit Macet Sritex

×

Terungkap! Ini Peran 11 Tersangka Skandal Kredit Macet Sritex

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Kantor Pusat Pt Sritex Dan Logo Kpk Dalam Latar Skandal Korupsi Kredit

BarataNews.id, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan total 11 orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit dari sejumlah bank pembangunan daerah kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Penetapan ini menandai babak baru dalam pengusutan korupsi sektor perbankan yang melibatkan konglomerasi tekstil nasional.

Dalam pernyataan resminya, KPK mengumumkan bahwa para tersangka berasal dari dua pihak utama: manajemen PT Sritex dan sejumlah pejabat serta eks pejabat dari bank daerah yang memberikan fasilitas kredit. Penelusuran awal menyebut nilai kerugian negara dalam perkara ini mencapai ratusan miliar rupiah, dan dipastikan akan terus bertambah seiring pengembangan penyidikan.

11 Tersangka: 4 dari Sritex, 7 dari Bank Pembangunan Daerah

Dari pihak Sritex, empat orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka adalah:

  1. Iwan Setiawan Lukminto – Direktur Utama PT Sritex
  2. Wiwik Windarti – Direktur PT Sritex
  3. Hendro Martono – Direktur Keuangan PT Sritex
  4. Wiyono – Karyawan PT Sritex

Mereka diduga secara kolektif memanipulasi data laporan keuangan perusahaan, menyembunyikan kondisi keuangan sesungguhnya, dan memberikan informasi yang tidak benar kepada bank pemberi kredit untuk memperoleh pinjaman dalam jumlah besar.

Sementara itu, dari pihak perbankan, tujuh orang tersangka terdiri atas pejabat aktif dan mantan pejabat bank daerah yang diduga meloloskan kredit tanpa analisis risiko memadai atau secara sengaja mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam pembiayaan. Ketujuh orang tersebut adalah:

  1. Ali Rachmat – Eks Direktur Utama Bank Jateng
  2. Umi Kalsum – Eks Kepala Divisi Kredit Bank Jateng
  3. Irfan Ariyadi – Pejabat Kredit Bank Jateng
  4. Hanafi – Eks Direktur Kepatuhan Bank Sultra
  5. Mohamad Rizal – Eks Kepala Divisi Kredit Bank Sultra
  6. Adhi Permana – Pejabat Bank Sultra
  7. Wahyu Wibowo – Pejabat Bank Sultra

Dalam keterangan KPK, mereka diduga melakukan pembiaran atas penyimpangan prosedur kredit dan bahkan terlibat aktif dalam mengarahkan proses pencairan dana meski terdapat indikasi kuat ketidakwajaran pada proposal kredit PT Sritex.

Modus: Manipulasi Laporan Keuangan dan Penyimpangan Prosedur Kredit

Menurut penyidik, proses pemberian kredit diduga menyimpang sejak awal. Pihak Sritex mengajukan pinjaman dengan menggunakan laporan keuangan yang dimanipulasi dan tidak mencerminkan kemampuan finansial yang sebenarnya. Beberapa pejabat bank diduga mengetahui adanya ketidaksesuaian data tersebut, namun tetap memproses dan menyetujui pencairan kredit.

Lebih lanjut, KPK menemukan bahwa tidak ada langkah verifikasi yang memadai oleh pihak bank. Bahkan, sebagian proses analisis kredit diduga dilakukan secara formalitas semata atau bahkan dipalsukan. Hal ini menyebabkan pencairan dana dalam jumlah besar dilakukan tanpa jaminan keamanan yang semestinya.

KPK Dalami Dugaan Kerugian Negara dan Pencucian Uang

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyampaikan bahwa penyidikan akan terus dikembangkan untuk menelusuri aliran dana hasil korupsi, termasuk kemungkinan tindak pidana pencucian uang. Meski belum merinci total kerugian negara, KPK menyebut nilai kredit yang dicairkan kepada PT Sritex mencapai ratusan miliar rupiah dari masing-masing bank, yang sebagian besar berpotensi tidak dapat dikembalikan.

“Tim penyidik saat ini masih melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap para saksi, termasuk pihak internal bank, regulator, dan auditor eksternal,” ujarnya.

Belum ada tanggapan resmi dari pihak PT Sritex. Namun di pasar modal, saham SRIL tercatat mengalami tekanan sejak kabar penetapan tersangka diumumkan. Kasus ini juga mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia untuk mengevaluasi sistem pengawasan kredit di sektor perbankan, terutama di BPD.

Sementara itu, sejumlah ekonom menilai kasus ini menjadi peringatan penting terhadap potensi konflik kepentingan dan lemahnya governance dalam pemberian kredit berskala besar, khususnya kepada korporasi nasional yang selama ini dianggap ‘terlalu besar untuk gagal’.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *