BarataNews.id, Brussel – Uni Eropa (UE) tengah menyusun rencana tarif balasan senilai 72 miliar euro atau sekitar Rp1.367 triliun terhadap barang-barang asal Amerika Serikat (AS). Langkah ini diambil menyusul ancaman tarif impor 30% yang dinyatakan Presiden AS Donald Trump terhadap produk-produk dari Benua Biru.
Daftar barang yang masuk dalam kebijakan balasan ini mencakup berbagai komoditas bernilai tinggi seperti pesawat, mesin, mobil, bahan kimia, peralatan medis, hingga produk pertanian dan makanan seperti buah, sayur, anggur, bir, dan minuman keras. Selain itu, juga termasuk barang-barang elektronik dan alat presisi.
Rencana tarif tersebut menjadi bagian dari paket kedua yang diajukan oleh Komisi Eropa. Komisi tersebut merupakan lembaga yang bertugas mengawasi dan merumuskan kebijakan perdagangan untuk 27 negara anggota Uni Eropa.
AS Ancam Tarif 30 Persen Mulai Agustus
Presiden AS Donald Trump mengancam akan menerapkan tarif dasar 30% terhadap semua barang impor dari Uni Eropa mulai 1 Agustus 2025. Ancaman ini dinilai oleh para pejabat UE sebagai tindakan yang tidak dapat diterima dan berpotensi menghancurkan perdagangan normal antara dua pasar ekonomi terbesar di dunia.
Meski demikian, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyatakan bahwa UE masih berharap bisa menemukan solusi melalui jalur diplomasi. Pada akhir pekan lalu, Komisi Eropa bahkan menunda pemberlakuan tarif balasan terhadap baja dan aluminium dari AS sebagai isyarat niat baik.
“Kami selalu sangat jelas bahwa kami lebih menyukai solusi yang dinegosiasikan,” ujar von der Leyen, menegaskan posisi Eropa yang masih terbuka terhadap dialog.
Ketegangan Dagang Meningkat Sejak Trump Kembali Berkuasa
Ketegangan perdagangan antara AS dan UE kembali memanas setelah Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS pada Januari 2025. Sejak saat itu, pemerintahannya telah memberlakukan tarif tinggi terhadap sejumlah mitra dagang, termasuk sekutu dekatnya seperti UE dan Jepang.
Kebijakan tersebut membuat pasar global bergejolak dan menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan perlambatan ekonomi dunia. Di sisi lain, AS juga tengah berupaya menyelesaikan berbagai kesepakatan dagang baru, meskipun hingga kini baru dua pakta yang diumumkan, yakni dengan Inggris dan Vietnam.
Sementara itu, hubungan dagang AS dengan China juga belum sepenuhnya stabil meski kedua negara menyepakati tarif balasan yang lebih rendah dalam perundingan terbaru.
Ketegangan ini berpotensi mendorong konflik dagang baru yang lebih luas jika kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan dalam waktu dekat.