BarataNews.id, Jakarta – Industri furnitur Indonesia menghadapi tekanan besar akibat kebijakan tarif impor baru yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Tarif sebesar 32% yang dikenakan terhadap produk Indonesia membuat harga jual di pasar AS melonjak, sehingga memicu penurunan pesanan dari pembeli Amerika.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, menyebutkan bahwa jika tidak ada langkah mitigasi yang konkret, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa menimpa hingga 270 ribu pekerja secara bertahap.
Kenaikan Harga Tekan Permintaan AS
Sobur menjelaskan, tarif baru tersebut membuat harga produk furnitur Indonesia naik sekitar 20–35%. Contohnya, kursi kayu yang sebelumnya dijual seharga USD 100, kini bisa mencapai USD 135 per unit. Kenaikan ini mengurangi daya tarik produk Indonesia di mata pembeli AS, yang dikenal sangat sensitif terhadap harga.
“Buyer dari AS mulai beralih ke negara pesaing. Penurunan permintaan ini akan memaksa pelaku usaha mengurangi produksi dan akhirnya berujung pada PHK,” kata Sobur, Selasa (15/7/2025).
Keluhan Datang dari Daerah Sentra Produksi
Penurunan pesanan disebut mulai dirasakan oleh para pelaku industri di sentra produksi seperti Jepara, Cirebon, Pasuruan, hingga Sukoharjo. Beberapa pabrik skala kecil bahkan telah mengurangi jam kerja dan mulai merumahkan sebagian tenaga kerja untuk bertahan.
“Permintaan dari buyer AS turun 20-30% dibanding tahun lalu. Beberapa anggota HIMKI sudah mengeluh soal ini,” ungkap Sobur.
Diplomasi dan Strategi Diversifikasi
Meski situasi cukup mengkhawatirkan, HIMKI tetap berusaha melakukan langkah antisipatif. Salah satunya adalah mempercepat diversifikasi produk ke segmen yang lebih tahan terhadap perang tarif, seperti produk premium, customized, atau yang berbahan baku berkelanjutan.
Selain itu, HIMKI juga mendorong pemerintah memberikan insentif fiskal, pembiayaan murah, serta kebijakan stimulus pembelian produk dalam negeri untuk menjaga perputaran industri dan mempertahankan lapangan kerja.
Negosiasi Masih Berjalan
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa AS telah memberikan waktu tambahan untuk negosiasi selama tiga minggu. Hal ini disebut sebagai “pause” dalam penerapan tarif, setelah pertemuan dengan otoritas perdagangan AS di Washington pada 9 Juli 2025 lalu.
Airlangga mengatakan, perundingan lanjutan diharapkan dapat menyepakati proposal yang lebih menguntungkan bagi kedua negara. “Kita punya waktu tiga minggu untuk melakukan fine tuning dari proposal yang sudah dipertukarkan,” ujarnya.
Dengan waktu negosiasi yang terbatas dan ancaman PHK yang nyata, pelaku industri berharap adanya solusi jangka pendek maupun jangka panjang dari pemerintah untuk menghindari krisis tenaga kerja dan mempertahankan daya saing furnitur Indonesia di pasar global.