Scroll untuk baca artikel
BisnisInternasional

Tarif Trump Naik, Langkah Indonesia Gabung BRICS Jadi Bumerang?

×

Tarif Trump Naik, Langkah Indonesia Gabung BRICS Jadi Bumerang?

Sebarkan artikel ini

Kebijakan tarif baru Donald Trump memukul ekspor Indonesia, keanggotaan BRICS justru dinilai perburuk posisi ekonomi RI di mata AS

Donald Trump Di Podium Saat Pidato, Kebijakan Tarif Berdampak Ke Indonesia

BarataNews.id, Jakarta – Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menaikkan tarif dagang sebesar 10 persen terhadap negara anggota BRICS+ termasuk Indonesia, memicu kekhawatiran di sektor perdagangan. Kebijakan ini dinilai sebagai respons langsung Trump terhadap sikap geopolitik BRICS yang dianggap anti-Amerika.

Indonesia, yang baru resmi bergabung dengan BRICS pada awal 2025, awalnya menaruh harapan pada peningkatan kerja sama ekonomi global. Namun, keputusan politik tersebut kini menghadirkan tantangan berat. Dalam pertemuan bisnis bilateral 7 Juli lalu, Indonesia bahkan telah berkomitmen mengimpor produk minyak dan pertanian AS senilai USD 34 miliar. Harapannya, ada keringanan tarif dari Washington.

Yang terjadi justru sebaliknya. Presiden Trump memutuskan menaikkan tarif terhadap anggota BRICS. Menurut pengamat hubungan internasional, langkah ini menjadi indikasi bahwa posisi Indonesia di kancah global kini lebih dipandang sebagai bagian dari poros Timur bersama China dan Rusia.

Ekspor Terancam, Surplus Dagang Bisa Terkikis
Secara angka, perdagangan Indonesia-AS pada 2024 mencatatkan surplus besar bagi Indonesia, yakni sekitar USD 25,5 miliar dari total perdagangan USD 38,3 miliar. Ekspor utama Indonesia ke AS meliputi mesin, perlengkapan listrik (18% ekspor) dan pakaian rajutan (8%). Kenaikan tarif Trump tentu akan berdampak pada sektor-sektor ini.

Trump bahkan sempat menyatakan bahwa jika Indonesia ingin keringanan tarif, maka negara ini harus membuka pabrik di AS. Pernyataan ini memperjelas strategi “America First” yang kembali digaungkan dan menambah tekanan terhadap negara mitra dagang.

BRICS Dianggap Pilihan Salah Langkah
Di sisi lain, keikutsertaan Indonesia dalam BRICS juga menuai kritik tajam. Dosen Hubungan Internasional dari Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra, menyebut bahwa Indonesia gagal mempertahankan prinsip bebas-aktifnya dan terkesan menjadi pion aliansi Timur.

Langkah Presiden Prabowo Subianto menghadiri forum ekonomi SPIEF 2025 dan bukan forum G7 juga dinilai menguatkan persepsi bahwa Indonesia condong ke blok non-Barat. Keputusan-keputusan itu kini berbalik menjadi tekanan ekonomi, khususnya dalam hubungan dagang dengan AS.

Indonesia Perlu Alternatif Strategis
Dengan tarif baru yang akan berlaku per 1 Agustus 2025, Indonesia hanya punya waktu singkat untuk melakukan manuver diplomatik. Pemerintah diminta melakukan negosiasi intensif dan menyiapkan jalur alternatif kerja sama ekonomi.

Sebagai opsi jangka panjang, Indonesia didorong untuk segera merampungkan proses keanggotaan dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang ditargetkan rampung pada 2027. Menurut kajian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), masuk OECD bisa mendatangkan investasi senilai USD 87,7 miliar hingga 2028.

Evaluasi Posisi Global Indonesia
Kebijakan tarif Trump menunjukkan pentingnya kalkulasi matang dalam diplomasi internasional. Pemerintah Indonesia perlu mengevaluasi kembali langkah politik luar negerinya, khususnya dalam hal afiliasi global seperti BRICS.

Alih-alih memperkuat posisi, langkah tergesa bisa membuka celah tekanan ekonomi dan diplomatik. Kini, pemerintah dihadapkan pada kenyataan bahwa strategi “bebas-aktif” perlu dijalankan dengan kehati-hatian dan disertai kepentingan ekonomi nasional yang lebih konkret.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *