BarataNews.id, Beijing – Ketegangan yang memuncak di Timur Tengah menyusul serangan Amerika Serikat ke fasilitas nuklir Iran pada akhir pekan lalu dinilai membawa dampak yang lebih besar bagi Cina ketimbang bagi AS sendiri. Konflik yang menyeret Iran, Israel, dan kini AS tersebut berisiko menghantam pasokan energi global—khususnya bagi Cina yang sangat tergantung pada kawasan tersebut.
Presiden AS Donald Trump mengklaim telah menghancurkan tiga situs nuklir utama Iran, termasuk fasilitas di Fordow. Eskalasi ini memperkuat kekhawatiran global akan potensi perang regional besar yang dapat memicu krisis energi.
Cina merupakan konsumen energi terbesar dunia dan sangat bergantung pada impor minyak mentah untuk menunjang sektor industri dan manufakturnya. Sebagian besar impor tersebut berasal dari Timur Tengah, termasuk Iran, yang meskipun berada di bawah sanksi, tetap mengekspor minyaknya ke Cina melalui jalur tidak resmi seperti transshipment lewat Malaysia.
Analis energi menyebut lebih dari 90 persen ekspor minyak Iran yang terkena sanksi berakhir di kilang-kilang kecil independen di Cina. Ketika wilayah Teluk Persia terganggu, seperti yang kini mengancam akibat potensi blokade Selat Hormuz oleh Iran, pasokan utama Cina menjadi sangat rentan.
Iran telah menyampaikan ancaman untuk menutup Selat Hormuz sebagai respons terhadap serangan AS. Jalur sempit ini menjadi penghubung vital antara Teluk Persia dan Laut Arab, dilalui sekitar 20 juta barel minyak per hari atau 20% dari pasokan global.