Baratanews.id – Sejarah panjang mencatat gonjang ganjing dan kegaduhan dalam tubuh Partai Golkar, memantulkan cerita potensi perpecahan yang melekat. Seolah kegaduhan itu menjadi lagu wajib tiap lima tahunan.
Setidaknya ada dua faktor yang menjadi pendorong utama – sekaligus kronis – yang melekat dalam tubuh partai berlambang pohon beringin lebat itu.
Faktor pertama, Golkar adalah satu–satunya partai politik yang ketua umumnya bukanlah “pemegang saham” mayoritas atas partainya. Sebagai contoh, Megawati misalnya, sebagai ketua umum PDIP. Fatwanya dipatuhi seluruh kader. Meneguhkan dirinya pemegang “saham”mayoritas, alias pengendali tunggal tertinggi arah perjalanan partai. Demikian halnya Prabowo Subianto (Gerindra), Surya Paloh (Nasdem), Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), Zulkifli Hasan (PAN), Muhaimin Iskandar (PKB) dan seterusnya pada partai yang punya kursi di parlemen pusat, maupun yang belum memiliki kursi sama sekali.
Faktor kedua, peranan pengurus propinsi, kabupaten dan kota madya sangat dominan. Terkesan seakan “melucuti” kewenangan pengurus pusat atau ketua umum dalam urusan masalah – masalah strategis partai. Ini karena mereka, – pengurus daerah itu – adalah pemilik suara, alias penentu hitam putihnya dinamika Golkar, selaras bunyi AD/ART.
Pergantian ketua umum Golkar, berlangsung rigid setiap lima tahun. Ketentuan ini berlaku sejak Golkar menjadi partai politik pada 1999. Menyesuaikan UU Kepartaian 1999. Sejak itu belum ada ketua umum Golkar berhasil langgeng menjabat dua priode.
Mulai dari priode awal Akbar Tanjung, ketua umum paska berlakunya UU 1999 itu. Dia hanya bertahan satu priode (5 tahun). Kemudian digantikan Jusuf Kalla alias JK pada Munas 2004 di Bali, yang ketika itu menjabat sebagai Wapres (Wakil Presiden). Meskipun para pendukungnya berjuang keras untuk menjadikan JK dua priode, tapi tetap tidak berhasil. JK harus menyerahkan jabatannya kepada Abu Rizal Bakrie pada Munas 2009 di Pekanbaru, Riau. Pada Munas berikutnya 2014 di Bali lagi, Aburizal Bakrie bersama pendukungnya, juga berjuang keras mau dua priode. Namun kandas. Karena terpotong oleh elite Golkar yang lain, yakni Agung Laksono yang tampil dengan kejutan : menjadi ketua umum melalui Munas tandingan, lewat pintu Munas “kembar” yang berlangsung juga pada 2014 di Ancol, Jakarta.
Tidak lama kemudian kedua kubu itu bersepakat untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan. Mereka sepakat menggelar lagi Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa). Dengan dengan embel – embel kata “rekonsoliasi” pada 2016. Namun yang terpilih jadi ketua Setya Novanto. Di tengah jalan, Setya Novantopun diturunkan oleh pengurus daerah yang memilihnya. Alasannya, Setnov, panggilan akrab Satya Novanto terjerat kasus korupsi jumbo pembuatan e-ktp, yang lebih popular dengan istilah kasus “papa minta saham”, yang menggegerkan jagad politik setanah air ketika, karena jumlahnya triliunan.
Kisruh itu mendorong munculnya Airlangga Hartarto pada tahun 2017, sebagai kompromi elite, diiringi rumor bisik – bisik tetangga : ada campur tangan kekuasaan. Mencoba mengulang sejarah konservativ, pendukung Airlangga Hartartopun berjuang keras menjadikannya ketua umum dua priode. Airlangga memang sempat lolos menjabat priode kedua. Tapi itu tidak lama. karena kemudian dia terkena “musibah” yang dalam istilah politik dikenal sebagai “kutukan priode kedua” atau “curse of the second period”. Kasus ini membantu menegaskan, sejak era reformasi, kepemimpinan dipucuk Partai Golkar tidak pernah ada ketua umum yang mujur lolos menjabat dua priode.
Mesin penggerak kelancaran Munas Golkar, sesungguhnya adalah pengurus daerah. Utamanya pengurus propinsi. Posisi pengurus tingkat kabupaten dan kota madya, yang dibawahnya itu, mengikut saja pada langgam dinamika pengurus propinsi. Meskipun secara kumulatif suara mereka yang terbanyak. Jumlah pengurus Propinsi mengikuti jumlah propinsi di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 38 buah (sekarang). Pengurus kabupaten – kota idem dito, berjumlah kurang lebih 530-an kabupaten – kota. Akan tetapi pengurus propinsi sebagai pemain utama dalam Munas, dikenakan kewajiban menciptakan sumber mata air “kebahagiaan” bagi pengurus kabupaten–kota.
Perjuangannya : dalam bentuk tawar – menawar alias nego yang dikenal dengan istilah “wani piro” dengan elite papan atas yang kesemsem mau jadi orang nomer satu. Kewajiban itu semacam bingkisan “kebahagiaan” untuk pengurus kabupaten kota.
Siapa figur kemudian yang mujur untuk mengganti Airlangga Hartarto ? Spekulasi yang marak di ruang publik berkata : itu “terserah” pak lurah. Sebutan pak lurah analogi pengganti sebutan nama Jokowi atau presiden.
Fakta membuktikan, Bahlil Lahadalia yang Menteri ESDM itu, memang akhirnya tampil sebagai ketua umum menggantikan Airlangga Hartarto yang mengundurkan diri. Ttiba – tiba raib. Lempar handuk tanpa alasan organisatoris yang jelas. Kemunculan nama Bahlil itu ang bukan kader teras, serta merta memantik spekulasi, yang menyebutkan kalau dia adalah titipan “Raja Jawa”.
Siapakah “Raja Jawa” itu?
Sampai disini, lebih aman kalau no coment. Mungkin akan lebih indah jika kita mendendangkan sepotong lirik lagu : “mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”.
Apa boleh buat, supaya aman dari prasangka dan dari kemungkinan menjadi tersangka, mau tidak mau kita perlu berlindung dibalik lirik lagu dari Ebiet.G. Ade yang pernah sangat populer itu
(Penulis : wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)