Scroll untuk baca artikel
Berita

Jokowi Menangis, Minta Maaf ke Rakyat

×

Jokowi Menangis, Minta Maaf ke Rakyat

Sebarkan artikel ini

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia menjelang akhir masa jabatannya.

Jokowi Menangis, Minta Maaf ke Rakyat
Jokowi Menangis, Minta Maaf ke Rakyat

baratanews.id – Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia menjelang akhir masa jabatannya. Jokowi menyadari bahwa dia dan Wapres Ma’ruf Amin tidak dapat memenuhi harapan semua pihak.

Sesuai dengan batas masa jabatan Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019 – 2024, keduanya akan berakhir secara resmi pada 20 Oktober 2024, bersamaan dengan pelantikan pasangan presiden terpilih pada Pilpres 14 Februari 2024, yaitu Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka.

Ketika menyampaikan pidatonya itu Jokowi sempat menitikkan air mata, sambil berucap, “di hari pertama bulan kemerdekaan, bulan Agustus, dengan segenap kesungguhan dan kerendahan hati, izinkanlah saya dan Kiai Haji Ma’ruf Amin, ingin memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas segala salah dan khilaf selama ini. Khususnya selama kami berdua menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia dan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia,” kata Jokowi di acara Zikir dan Doa Kebangsaan menjelang HUT ke-79 RI di halaman Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis tanggal 01 Agustus 2024.

Jokowi terlihat berusaha keras mencoba membangun impresi dan narasi untuk meyakinkan rakyat, bahwa dia menyadari dirinya dan Ma’ruf Amin wakilnya, tidak dapat menyenangkan dan memenuhi harapan semua pihak. Jokowi menyebut dirinya tidak sempurna dan hanyalah manusia biasa.

“Kami sangat menyadari bahwa sebagai manusia, kami tidak mungkin dapat menyenangkan semua pihak. Kami juga tidak mungkin dapat memenuhi harapan semua pihak. Saya tidak sempurna, saya manusia biasa, kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT,” katanya, sambil menekankan, “hanya milik Allah, kerajaan langit dan bumi serta apa pun yang ada di dalamnya, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,” tandasnya.

Lalu, apa reaksi pihak PDIP?

Melalui juru bicaranya Chico Hakim, PDIP menganggap permintaan maaf itu terlambat disampaikan sekarang. “Kami tidak merasa ini sesuatu yang perlu dihiraukan, terlalu serius atau terlalu jauh, karena semuanya sudah cukup terlambat,” katanya dengan reaksi dingin menanggapi ucapan Jokowi, sebagaimana diberitakan media, Jumat tanggal 02 Agustus 2024.

Chico menyebut beberapa kerusakan telah terjadi selama Jokowi memimpin Indonesia. Dia menyinggung secara khusus kerusakan dari sisi demokrasi.

“Apalagi kerusakan yang telah diakibatkan oleh cara kepemimpinan dan manuver- manuver yang dilakukan oleh kekuasaan, khususnya yang kami maksud, adalah kekuasaan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Itu kerusakan-kerusakan di bidang demokrasi dan juga hubungan baik silaturahmi sosial, di antara masyarakat yang kita rasakan ada keterpecahan, ada pecah belah di situ, polarisasi, politisasi agama, dan juga berbagai macam hal lain,” tandas Chico.

Sementara itu, seorang mahasiswa Filsafat di IFTK Ledalero, NTT, bernama Smith Sahputa, menulis di platform media ICW (Indonesia Corruption Watch) pada 07 Juni 2024, sebagai berikut :

“Pasca terpilih sebagai presiden pada pemilu 2014, wajah Jokowi muncul di sampul majalah Time dengan tajuk utama: “A New Hope” – Harapan Baru. Banyak orang di luar negeri menyejajarkan Jokowi dengan Barack Obama, presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. Obama populer karena berasal dari kelompok minoritas. Sedangkan Jokowi populer karena terkesan datang dari kelompok bawah Jokowi dipersepsi sebagai sosok populis. Dia dekat dengan wong cilik dan pembawaan dirinya yang sederhana adalah antitesa dari mayoritas pemimpin dan pejabat publik yang sangat elitis.

Namun, optimisme yang menyeruak di awal kepemimpinan Jokowi, ternyata tidak lebih dari sekadar utopia. Jokowi, di penghujung kekuasaannya, justeru secara vulgar dan terang – terangan melakukan pengangkangan terhadap nilai – nilai demokrasi.

Jokowi ikut menjustifikasi tesis Levitsky dan Ziblat bahwa matinya demokrasi bukan lagi di tangan orang – orang bersenjata, melainkan di tangan pemimpin terpilih – presiden atau perdana menteri yang membajak proses yang membawa mereka ke kekuasaan”. (TimRedaktur/Zis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *